Ekonomi Global: Tinjauan Ulang atas Kedalaman dan Penyebab Krisis
Ekonomi Global: Tinjauan Ulang atas Kedalaman dan Penyebab
Krisis
Erwin Haryono[1]
Pendahuluan
Krisis besar saat ini menghadirkan kenyataan pahit bahwa cara
pengelolaan pusat ekonomi dunia yang dibanggakan negara maju telah menyeret
ekonomi kepada resesi berskala global, bahkan kepada kemungkinan terulangnya
masa kegelapan great depression
seperti di tahun 1930-an. Upaya penyelamatan ekonomi besar-besaran telah
dilakukan, bahkan melalui mega stimulus dan koordinasi kebijakan global melalui
forum penting semacam G20. Kenyataannya krisis masih
terus berlangsung bahkan pada tahun ke lima sekarang ini, setelah krisis
pertama kali meledak di tahun 2007. Apa yang sebenarnya tengah terjadi di
negara maju? Lalu bagaimana masa depan ekonomi mereka? Apa akibatnya bagi
ekonomi global? Apakah penanganan krisis sejauh ini telah menyelesaikan
persoalan? Apa yang harus dilakukan negara berkembang seperti Indonesia?
Pemahaman atas kedalaman krisis dan penyebab krisis
adalah sebuah isu besar yang diharapkan dapat menjadi konteks penting bagi pembahasan
isu-isu ekonomi global G20 yang akan dibahas pada bagian lain dalam buku ini.
Krisis pada awalnya terjadi pada sektor keuangan. Pecahnya bubbles di sektor yang tumbuh luar biasa
cepat itu membawa kerugian triliunan dollar. Namun analisis lebih mendalam pada
negara maju membawa perspektif baru bahwa kesemerawutan, keserakahan, dan salah
kelola di sektor keuangan adalah sebuah proses yang tidak berdiri-sendiri,
melainkan terkait erat dengan salah kelola yang juga terjadi sejak lama di sektor
ekonomi riil. Hanya dengan perspektif ini kita bisa memahami bahwa krisis yang
tengah terjadi jauh lebih dalam daripada yang diperkirakan banyak orang. Dengan
pemahaman yang komprehensif itu pula kita bisa lebih memahami bagaimana
berbagai inisiatif penting serta langkah nyata yang telah dikeluarkan oleh
forum global semacam G20 dan forum penting lain yang berskala global ternyata belum dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Tidak boleh dipungkiri bahwa ekonomi global sempat diwarnai
oleh euphoria positif sepanjang 2010
akibat dimulainya proses pemulihan ekonomi di negara maju yang lebih cepat dari
perkiraan sebelumnya. Stimulus ekonomi dianggap berhasil mengaktivasi ekonomi
dalam jangka pendek. Dunia terhindar dari ancaman great depression yang menakutkan. Selanjutnya, persoalan struktural
–khususnya tingkat utang yang sangat tinggi— akan diatasi secara gradual dalam
jangka panjang. Namun pada pertengahan 2011 momen positif tersebut secara
gradual menyurut. Aktivitas perekonomian tertahan akibat terganggunya proses
pemulihan ekonomi di negara-negara maju terutama Amerika Serikat (AS) dan
meningkatnya eskalasi krisis utang di Eropa. Aktivitas perekonomian yang
kembali melemah tersebut juga diiringi dengan meningkatnya instabilitas di pasar
finansial, yang pada akhirnya semakin meningkatkan ketidakpastian prospek
ekonomi di negara-negara maju. Sejumlah peristiwa sejak pertengahan 2011 hingga
setahun berikutnya mempertegas pelemahan ekonomi negara maju. Sementara itu
berbagai langkah stimulus, melalui kebijakan fiskal dan moneter, kini telah
kehabisan “amunisi”. Negara
maju, khsususnya saat ini di Eropa, kembali mengalami
resesi (double-dip recession).
Bagaimana dengan negara emerging?
Kekuatan baru yang semula diharapkan menjadi penopang ekonomi global pasca
krisis semakin menunjukan kerentanannya. Dalam kondisi lemahnya permintaan
global (global paradox of thrift) dan
habisnya amunisi kebijakan stimulus di negara maju, negara emerging
diharapkan meningkatkan permintaan domestiknya. Namun perkembangan terakhir di Republik
Rakyat Tiongkok (RRT) menunjukan bahwa permintaan domestik telah meningkatkan
risiko bubbles di sektor perumahan
dan mengancam kesehatan perbankan. Ekonomi besar itu kini bahkan terancam
mengalami hard landing. Sementara itu
di India, permintaan domestik yang
terlalu kuat telah
menyebabkan kerentanan yang
lebih nyata di sisi neraca
pembayaran, serta menimbulkan tekanan inflasi dan kestabilan nilai tukar.
Apabila resesi ekonomi di megara maju terus berlanjut dalam jangka menengah,
ketahanan ekonomi negara emerging
akan semakin terancam. Perdagangan sesama negara emerging sebagai jawaban atas lemahnya permintaan dari negara maju
terkendala secara struktural oleh kenyataan bahwa komoditas ekspor mereka
relatif sama.
Apa yang Sesungguhnya tengah Terjadi di
Negara Maju?
Negara maju telah menjadi “pusat gravitasi” perekonomian
global sejak lama. Pertumbuhan dan sekaligus kestabilannya sejak lama menjadi
pusat dinamika ekonomi global. Lahirnya kekuatan ekonomi baru (emerging economies) juga terjadi atas
peran penting ekonomi negara maju sebagai pasar utama bagi ekspor mereka;
ekspor yang menjadi faktor terpenting dalam sumber pertumbuhan negara emerging. Dengan demikian apa yang
terjadi pada negara maju akan secara langsung dan signifikan mempengaruhi
ekonomi global. Sayangnya posisi penting itu justru menyebabkan kealpaan dalam
melihat secara kritis apa yang telah dilakukan negara maju dalam mengelola
ekonominya[2].
Kelompok negara ini sejak lama seperti dipersepsikan sebagai contoh
keberhasilan, bahkan tauladan, dalam mengelola ekonomi. Ekonomi dunia pasca perang
dunia selama puluhan tahun selalui diwarnai oleh ekonomi negara maju yang
stabil dan ekonomi negara berkembang yang rawan krisis. Dalam paradigma
tersebut, sulit untuk melihat kenyataan bobroknya ekonomi negara maju sehingga berkembang menjadi krisis multi dimensi seperti sekarang ini. Fokus pada negara
maju sangat penting untuk dilakukan karena sejauh ini berbagai analisis lebih
banyak ditujukan pada kelemahan di negara peripheral semacam yang terjadi pada
Yunani di dalam konstelasi persoalan ekonomi di kawasan Euro.
Krisis keuangan sejak 2007 lalu menyadarkan tentang lemahnya
pengelolaan sektor penting bagi aktivitas ekonomi dunia ini. Pasar keuangan yang efisien, yang dapat mengatur dirinya sendiri itu (self regulated market) ternyata dilandasi oleh motif mengeruk
keuntungan yang berlebihan, dan mengalahkan prinsip governance. Pesatnya inovasi keuangan yang bekerja dalam self regulated market dan akomodasi
regulator semakin menguat dalam kondisi globalisasi (cross border banking). Kini kita tahu bahwa inovasi keuangan yang berlebihan ternyata menyebabkan
kealpaan yang berakibat fatal. Bubbles
luar biasa yang terjadi dalam aset keuangan pada akhirnya pecah pada tahun 2007
dan menyeret dunia dalam krisis keuangan berkepanjangan sekarang ini.
Lebih jauh lagi, krisis
yang terjadi pada negara maju ternyata
berakar jauh lebih luas dan dalam
daripada sekedar ketamakan dan salah kelola yang terjadi pada sektor keuangan. Menggabungkan
analisis ekonomi riil dengan analisis sektor keuangan menjadi sangat krusial
untuk melihat kembali magnitude
persoalan global yang sesungguhnya sedang kita hadapi, dan dengan demikian
menilai-ulang risiko yang ada di dalamnya. Analisis komprehensif semacam ini
juga sangat penting untuk memperkirakan arah perkembangan ekonomi global ke
depan, dan menilai kembali apakah bebagai langkah yang telah diambil selama ini
akan dapat mengatasi akar persoalan yang sesungguhnya.
Dalam konteks besar tersebut, apa yang terjadi pada sektor
keuangan itu ternyata “hanyalah” akomodasi atas apa yang
terjadi di sektor riil. Sumber pertumbuhan ekonomi
negara maju selama beberapa dasawarsa terakhir lebih mengandalkan stimulus di sisi
permintaan ketimbang perbaikan produktivitas di sisi penawaran. Sementara itu
cara pengelolaan ekonomi di sisi penawaran, yaitu memelihara sumber petumbuhan yang riil, relatif terabaikan. Dalam hal ini, sebagai sebuah negara yang maju,
sumber pertumbuhan seharusnya berasal dari sisi produktivitas; dan faktanya
adalah bahwa produktivitas tidak meningkat cukup kuat. Dalam terminologi teori pertumbuhan, the low hanging fruit
telah lama habis, dan yang tersisa adalah sumber pertumbuhan yang membutuhkan
tambahan produktivitas. Tapi tentu lebih sulit untuk terus menambah
produktivitas demi terciptanya pertumbuhan. Memenuhi hasrat untuk terus mempertahankan taraf kehidupan
yang tinggi dan bahkan untuk terus bertumbuh, cara yang mudah adalah dengan mengandalkan sisi permintaan.
Mengandalkan sisi permintaan (too much emphasis on
demand side) bahkan
juga dilakukan untuk terus mempertahankan kerangka kebijakan welfare state untuk melindungi
masyarakat yang kurang produktif. Betapapun pentingnya melindungi kelompok
masyarakat ini, model ini dalam jangka panjang tidak mendukung peningkatan
produktivitas. “Defisit” antara sisi penawaran dan permintaan tersebut kemudian
dipenuhi oleh utang. Dalam konteks ini, posisi negara maju sebagai pusat
keuangan global maupun sebagai penyedia likuiditas global dalam kerangka
international monetary system (IMS) saat ini memberikan keuntungan luar biasa
dalam hal murahnya berutang untuk membiayai model pengelolaan ekonomi yang
defisit tersebut. Karena terjadi dalam kurun waktu yang lama, akumulasi utang
di beberapa negara maju kini bahkan telah mencapai level yang tidak lagi sustainable.
Dalam konteks besar ini, pertumbuhan yang terlalu cepat pada
sektor keuangan pada awalnya hanyalah sebuah akomodasi atas model pertumbuhan
ekonomi yang mengandalkan sisi permintaan; walaupun pada perkembangannya kemudian,
sektor keuangan tumbuh jauh lebih cepat ketimbang kebutuhan untuk mengakomodasi.
Aset finansial tumbuh luar biasa cepat akibat inovasi keuangan –khususnya
melalaui proses sekuritisasi yang dikonfirmasi rating agency; shadow banking yang lebih banyak bermain di manipulasi
aset keuangan ketimbang menjalankan fungsi tradisional perbankan sebagai
lembaga intermediasi; globalisasi –khususnya melalui cross border banking; dan
kepercayaan yang menyesatkan bahwa pasar bisa mengatur dirinya sendiri (self regulated market). Berbagai faktor
tersebut telah mengakselerasi aset keuangan secara luar biasa cepat, dan
kemudian menyebabkan pecahnya financial
asset bubbles sejak tahun 2007. Cerita selanjutnya adalah krisis ekonomi
dunia yang berkepanjangan sekarang ini.
Interaksi antara pengelolaan ekonomi riil dan finansial
selama beberapa dekade itu bukan hanya menghasilkan tumpukan utang yang luar
biasa. Persoalan global semacam excessive
global liquidity dan global
imbalances pada dasarnya “hanyalah” symptom
dari persoalan mendasar ini (lihat skema besar persoalan global pada lampiran).
Semua kejadian ini dapat terjadi dalam kurun waktu yang lama justru karena
kredibilitas yang dimiliki negara maju. Persepsi risiko dari para pelaku pasar
atas negara maju hanya sedikit terkoreksi bahkan ketika krisis mencapai
puncaknya. Negara berkembang bahkan semakin banyak menyimpan instrumen utang
negara maju pada saat instabilitas keuangan berada pada kondisi kritis; karena
hanya itulah liquiditas aman yang tersedia saat ini. Dunia bukan hanya abai
terhadap berbagai indikator ekonomi sangat buruk di negara maju, tetapi bahkan
tersandera oleh kenyataan bahwa negara maju masih menjadi pusat gravitasi
ekonomi dunia.
Dengan kredibilitas dan posisinya sebagai penyedia likuiditas
global, pasca-krisis negara maju telah menempuh kebijakan mega stimulus untuk
menghindari terulangnya great depression
yang menakutkan. Triliunan dolar telah dikeluarkan di sisi fiskal, dan
akomodasi kebijakan moneter melalui suku bunga kebijakan yang nyaris nol serta
tambahan akomodasi melalui quantitative
easing. Kini, kekhawatiran great depression seperti telah dilalui;
tapi ternyata proses pemulihan ekonomi kembali terhambat di Amerika, dan krisis
utang yang menakutkan terus terjadi di Eropa. Keterkaitan berbagai persoalan di
negara maju semakin meningkat sehingga penyelesaian yang parsial tidak lagi
dapat menyelesaikan masalah. Di
Amerika, berbagai stimulus sulit untuk mengangkat aktivitas ekonomi karena
hampir semua pelaku ekonomi, termasuk sektor rumah tangga, masih berada pada
fase konsolidasi neraca setelah terkena penyesuaian harga aset karena krisis.
Di Eropa, intensitas adverse feedback loops (Diagram 1) yang
semakin menguat memperlemah prospek ekonomi serta keyakinan para pelaku
ekonomi. Dalam kondisi habisnya “amunisi” stimulus saat ini, lingkaran setan
semacam itu sulit untuk dipecahkan. Kini hantu great depression kembali muncul ke permukaan, dan skenario semacam
itu tentu sebuah gambaran yang menakutkan untuk semua pelaku ekonomi global.
Diagram 1. Adverse Feedback Loops

Bagaimana Selanjutnya?
Berbagai laporan terkini dari lembaga internasional semakin
banyak yang mengkonfirmasi pemburukan ekonomi global. Skenario terburuk adalah
apabila kredibilitas ekonomi negara maju semakin terpuruk dan mulai memicu
pembalikan persepsi pasar. Yield pada
awalnya akan meningkat dan diikuti herding
behavior dalam bentuk pelepasan aset negara maju. Tetapi pelepasan itu
tidak serta merta diikuti oleh pengalihan kepada aset di negara emerging, karena persepsi risiko yang
masih tinggi terhadap ekonomi kawasan ini. Akibatnya tidak terbayangkan, yaitu
kehancuran fundamental pada penopang utama ekonomi global. Roda ekonomi global bisa jadi berhenti berputar. Great depression
dalam skenario ini bisa jadi lebih buruk daripada yang terjadi pada tahun
1930-an. Untuk menghindari kiamat semacam ini, negara maju tidak bisa
terus-menerus mengobral stimulus dan abai terhadap indikator utangnya yang
terus memburuk dan sudah tidak sustainable (Grafik 1). Sebagaimana terlihat pada skema persoalan ekonomi global pada lampiran,
indikator utang adalah gambaran akumulasi persoalan ekonomi negara maju.
Indikator itu pula yang pada akhirnya akan dilihat pasar dalam menentukan
kredibilitas dan persepsi risiko terhadap negara maju.
Grafik 1. Gambaran Utang Negara Maju dan Peripheral Eropa


Sumber: McKinsey Global Institute
Skenario terbaik adalah bahwa negara maju masih dapat terus mempertahankan
kredibilitasnya sehingga tidak sampai mempengaruhi persepsi risiko. Namun
demikian, terbatasnya ruangan untuk melakukan manuver kebijakan baik pada sisi
fiskal maupun moneter hanya akan menghasilkan skenario pertumbuhan ekonomi di
negara maju yang sangat terbatas. Dengan demikian, dalam skenario inipun
ekonomi global ke depan diperkirakan hanya akan menghasilkan pertumbuhan
yang rendah. Hal penting yang juga perlu
diingat adalah bahwa kemungkinan besar pertumbuhan global yang rendah tersebut
akan terjadi dalam kurun waktu yang lama, mengingat berbagai langkah konsolidasi
yang harus dilakukan akan menyebabkan sulitnya memperoleh pertumbuhan tinggi
seperti pada masa sebelum krisis.
Dengan dua skenario pokok tersebut, menjadi penting bagi
negara emerging untuk terus
mempertahankan ketahanannya (resiliency).
Mengandalkan permintaan domestik sebagai pengganti atas permintaan eksternal
yang lemah hanya bisa dilakukan secara sementara. Selama periode tersebut,
sangat penting bagi negara emerging
untuk terus memantau keseimbangan ekonominya. Apa yang terjadi di India atau
bahkan di RRT pada saat kebijakan stimulus di domestik telah mengganggu
keseimbangan ekonominya adalah pelajaran sangat penting yang tidak boleh diabaikan.
Dalam konteks forum ekonomi global yang akan terus diikuti
Indonesia, khususnya melalui forum G20, penting untuk terus memelihara
perspektif fundamental semacam ini. Dengan perspektif itu, Indonesia akan dapat
senantiasa mengingatkan bahwa persoalan besar yang dihadapi perekonomian global
yang masih jauh dari penyelesaian; bahwa risiko ekonomi masih sangat tinggi
untuk melakukan kebijakan yang tidak terukur; bahwa dibutuhkan pengelolaan
ekonomi yang jauh lebih pruden pada negara maju, seperti yang sering mereka
kuliahkan kepada negara berkembang seperti Indonesia; bahwa dunia internasional
membutuhkan paradigma baru dalam menjaga kestabilan ekonominya.
Referensi:
Independent Evaluation Office – IMF, 2011, “IMF Performance in the Run-Up to the
Financial and Economic Crisis: IMF Surveillance in 2004–07”
International Monetary Fund, “World Economic Outlook”, various edition
International Monetary Fund, “Global Financial Stability Report”, various edition
International Monetary Fund, “Spillover report”, various edition
McKinsey Global Institute, 2010, “Debt and Deleveraging: The Global Credit Buble and Its Economic
Consequences”
McKinsey Global Institute, 2012, “Debt and Deleveraging: The Global Credit Buble and Its Economic
Consequences –Updated Research”
Emmanuel Farhi, Pierre-Olivier Gourinchas, and Hélène Rey,
2011, “Reforming the International
Monetary System”, Centre for Economic Policy Research
Maurice Obstfeld and Kenneth Rogoff, 2011, “Global Imbalances and the Financial Crisis:
Products of Common Causes”, in “Asia and the Global Financial Crisis”, University
of California, Berkeley.
Raghuram G.Rajan, 2010, “Fault Lines: How Hidden Fractures
Still Threaten the World Economy”, Princeton University Press
Komentar
Posting Komentar