IMPLEMENTASI AKUNTANSI AKRUAL DI BERBAGAI NEGARA : PELAJARAN YANG DIPETIK
Makalah Akuntansi Sektor Publik
IMPLEMENTASI AKUNTANSI AKRUAL DI
BERBAGAI NEGARA : PELAJARAN YANG DIPETIK
OLEH :
MUHAMMAD AL GHOZALI (A311 11 004)
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita saat ini dihadapkan pada situasi dimana terjadi
pertarungan dan perebutan sumber-sumber ekonomi dan sumber daya alam antara
korporasi global versus negara dengan dalih efisiensi untuk pengelolaan sumber
daya alam yang semakin langka. Anehnya lagi, semangat untuk menguasai
sumber-sumber ekonomi dan sumber daya alam ini dilaksanakan secara legal,
melalui penerbitan berbagai peraturan dan undang-undang (Fakih, 2010). Stiglitz
(2006) menyatakan bahwa reformasi yang banyak digaungkan saat ini kebanyakan
merupakan permainan organisasi-organisasi ekonomi multilateral seperti IMF dan
Bank Dunia yang hanya semakin memperburuk kondisi ekonomi di kebanyakan negara
berkembang melalui kebijakan-kebijakan yang semata-mata mengandalkan
fundamentalisme pasar. Stiglitz (2003) lebih lanjut menyebutkan bahwa
negara-negara berkembang dipaksa untuk mengikuti kehendak pada ahli dan
teknokrat yang bekerja untuk organisasi-organisasi tersebut. Mereka memberikan
alasan negara-negara yang gagal untuk melakukan reformasi dikatakan kurang
memiliki political will dan sebagai konsekuensinya negara-negara
tersebut akan menerima tingkat bunga terhadap utang yang lebih tinggi saat
mengajukan pinjaman luar negerinya.
Modal asing itu dapat berupa bantuan, pinjaman maupun
penanaman modal, baik dari sumber pemerintah maupun swasta asing. Aliran
bantuan, pinjaman dan modal dari suatu negara adalah merupakan bagian dari
politik luar negeri negara asalnya untuk mengejar kepentingan ideologi dan
politik, ekonomi maupun sosialnya. Setelah berakhirnya Perang Dingin,
pertimbangan ideologi politik tidak lagi menonjol dalam pemberian bantuan dan
pinjaman luar negeri oleh negara-negara donor maupun investasi modal swasta
dari negara-negara itu. Pertimbangan itu sudah berubah menjadi demokrasi sistem
politik, hak asasi manusia, good governance, transparansi dan
akuntabilitas, pencucian uang dan anti korupsi serta terorisme, dan sebagainya.
Melalui pelaksanaan akuntansi berbasis akrual untuk
sektor pemerintahan agar dana yang diperoleh dari bantuan luar negeri dapat
dikelola dan dipertanggung jawabkan dengan baik.
Pada
prakteknya, pelaksanaan sistem akuntansi berbasis akrual di sektor publik tidak
selalu berjalan mudah, dikarenakan salah satu alasannya adalah berbedanya
karakteristik lingkungan sektor publik dibandingkan dengan sektor bisnis yang
dalam prakteknya senantiasa sangat familiar dengan sistem tersebut. Entitas di
sektor publik memberikan layanan kepada publik atau masyarakat tanpa bertujuan
untuk mendapatkan laba dari layanan yang diberikannya tersebut, sedangkan untuk
entitas bisnis, perolehan profit dari setiap aktivitas yang dilakukan adalah
keniscayaan agar entitas tersebut dapat terus menjalankan operasinya di masa
yang akan datang. Selain itu, akan sulit untuk mengharapkan terjadinya
efisiensi terjadi di sektor publik, utamanya pemerintah, karena beragamnya
jenis pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat. Dengan penggunaan
sistem akuntansi berbasis akrual di organisasi pemerintahan maka, salah
satunya, dapat diukur biaya pelayanan jasa pemerintahan, efisiensi serta
kinerja Pemerintah. Dalam sistem berbasis akrual juga dapat diketahui kewajiban
kontinjensi Pemerintah karena dicatat komitmen atau hak maupun kewajiban
kontijensi negara terutama untuk penerimaan maupun pengeluaran yang melampaui
masa satu tahun anggaran. Anggaran berbasis akrual akan memungkinkan
perencanaan anggaran jangka panjang yang melebihi satu tahun anggaran.
Akuntansi
basis kas dan akrual merupakan dua titik ujung dari sebuah spektrum basis
akuntansi dan anggaran yang mungkin untuk diterapkan. Basis kas pada awalnya
telah diterapkan secara tradisional di berbagai negara untuk aktivitas sektor
publik. Namun, pada awal tahun 1990-an telah muncul laporan keuangan dan
anggaran berbasis akrual yang pertama kalinya di dunia yaitu di New Zealand.
Kemudian dalam perkembangan satu dekade berikutnya, telah terjadi perubahan
besar dalam penggunaan basis akuntansi dari basis kas menuju/menjadi basis
akrual di negara-negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation
and Development) meskipun masih terdapat perbedaan derajat akrual-nya diantara
negara-negara tersebut. Penggunaan basis akrual telah menjadi salah satu ciri
dari praktik manajemen keuangan modern (sektor publik).
Tujuan pengguanaan akuntansi dengan
basis akrual ini sendiri adalah untuk memberikan informasi yang lebih
transparan mengenai biaya (cost) pemerintah dan meningkatkan kualitas
pengambilan keputusan di dalam pemerintah dengan menggunakan informasi yang
diperluas, tidak sekedar basis kas. Tujuan kuncinya adalah untuk meminta
pertanggungjawaban para manajer dari sisi keluaran (output) dan/atau hasil
(outcome) dan pada saat yang sama melonggarkan kontrol atas masukan (input).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Negara-negara yang Menerapkan Akuntansi Akrual
Fakta yang ditemukan saat ini bahwa akuntansi berbasis
akrual untuk sektor publik telah banyak dijalankan di berbagai negara, seperti Kanada (Barry, 2005), Inggris (Cortes, 2006; Ellwood dan
Newberry, 2007), Australia
(Churchill, 1992; Micallef, 1994; Webster, 1998; Cortes, 2006; Ellwood dan
Newberry, 2007), Selandia Baru (Scott,
McKinnon dan Harrison, 2003; Lye, Perera dan Rahman, 2005; Cortes, 2006), Belgia (Christiaens, 2003), Rumania (Iuliana, 2010; Stefanescu dan
Turlea, 2011), Hongkong (Adam,
2003), Kepulauan Fiji (Tickell,
2010), Portugal (Jorge, Carvalho dan
Fernandes, 2007), Nepal (Adhikari
dan Mellemvik, 2011), Malaysia
(Ilias, Haiqal dan Khamil, 2012) dan beberapa negara lainnya. Sebagian telah
dianggap berhasil, namun sebagian lainnya masih mencari bentuk terbaik dari
pelaksanaan sistem akuntansi berbasis akrual agar dapat diterapkan secara
menyeluruh di seluruh organisasi pemerintahnya.
Pada prakteknya, pelaksanaan sistem akuntansi berbasis
akrual di sektor publik tidak selalu berjalan mudah, dikarenakan salah satu
alasannya adalah berbedanya karakteristik lingkungan sektor publik dibandingkan
dengan sektor bisnis yang dalam prakteknya senantiasa sangat familiar dengan
sistem tersebut. Entitas di sektor publik memberikan layanan kepada publik atau
masyarakat tanpa bertujuan untuk mendapatkan laba dari layanan yang
diberikannya tersebut, sedangkan untuk entitas bisnis, perolehan profit dari
setiap aktivitas yang dilakukan adalah keniscayaan agar entitas tersebut dapat
terus menjalankan operasinya di masa yang akan datang. Selain itu, akan sulit
untuk mengharapkan terjadinya efisiensi terjadi di sektor publik, utamanya
pemerintah, karena beragamnya jenis pelayanan yang harus diberikan kepada
masyarakat. Dengan penggunaan sistem akuntansi berbasis akrual di organisasi
pemerintahan maka, salah satunya, dapat diukur biaya pelayanan jasa
pemerintahan, efisiensi serta kinerja Pemerintah. Dalam sistem berbasis akrual
juga dapat diketahui kewajiban kontinjensi Pemerintah karena dicatat komitmen
atau hak maupun kewajiban kontijensi negara terutama untuk penerimaan maupun
pengeluaran yang melampaui masa satu tahun anggaran. Anggaran berbasis akrual
akan memungkinkan perencanaan anggaran jangka panjang yang melebihi satu tahun
anggaran.
B.
Penerapan Akuntansi Akrual dibeberapa Negara
1. New Zealand
(Selandia Baru)
Pemerintah Selandia Baru (New Zealand) melakukan
reformasi besar pada akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an. Reformasi
tersebut mengubah manajemen pemerintahan dari sistem berbasis ketaatan, yang
menggunakan aturan yang detil, restriktif dan plafon anggaran kas, menjadi
rezim yang berbasis kinerja dan akuntabilitas. Keberhasilan dari penerapan
reformasi ini memerlukan upaya yang sungguh-sungguh baik di level stratejik
maupun level operasional dan membawa pada perubahan fundamental dan perubahan
yang ekstensif baik dalam manajemen operasi sektor pemerintah (sektor publik)
dan juga laporan keuangan yang disajikan untuk operasi tersebut. Pengalaman
Selandia Baru menunjukkan bahwa perubahan bukan sekedar wacana ataupun retorika
tetapi sudah menjadi keberhasilan yang jauh lebih baik. Hasil dari sisi
keuangan menunjukkan bahwa setelah mengalami defisit (anggaran) selama 20
tahun, kemudian berubah secara mengejutkan menjadi surplus dalam tiga tahun
terakhir (1994-1996), dengan sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa surplus
tersebut lebih dari sekedar sebuah siklus.
Kondisi sistem manajemen di Selandia Baru pada awal
tahun 1980-an didominasi oleh kontrol input yang tersentralisasi, yaitu
ditetapkannya instruksiinstruksi menyangkut masalah perbendaharaan dan manual
pelayanan publik, adanya keharusan untuk menggunakan penyedia barang dan jasa
(supplier) tertentu yang telah ditentukan (adanya monopoli) dalam pengadaan
akomodasi, kendaraan, komputer, dsb. Upaya-upaya manajemen dan audit pun
diarahkan untuk menjamin agar kontrol-kontrol seperti itu dipahami dan
dilaksanakan.
Saat ini, Selandia Baru merupakan salah satu negara
yang paling sukses dalam menerapkan sistem akuntansi berbasis akrual di sektor
publiknya. Tingkat perubahan (the degree of change) dalam manajemen
sektor publik di Selandia Baru dilalui dengan cepat dan sangat inovatif.
Pemerintah mereformasi hampir di semua lini pemerintahan, mulai dari pelaksana
(para pejabat pengelola keuangan dan akuntan negara), sistem yang digunakan,
hingga ke budaya yang dianut di setiap lembaga negara, yang dituangkan dalam Public
Finance Act 1989
Seluruh uang negara dikelola oleh Departemen /
Kantor Perbendaharaan (Treasury) di dalam rekening bank konsolidasian. Mengacu
pada instruksi dari Treasury, departemen-departemen mengajukan voucher
pembayaran (semacam SPM atau surat perintah membayar) kepada kantor
perbendaharaan yang kemudian mengorganisasikan pembayaran, dan melaporkan
transaksi dalam laporan pemerintah.
Pengolaan anggaran lebih ditekankan pada pembatasan
alokasi anggaran (apropriasi) belanja untuk tujuan program yang kurang tegas.
Apropriasi menginformasikan tentang penerima anggaran, aktivitas pemerintah,
atau jenis pengeluaran (contoh, belanja modal, belanja pegawai, belanja bantuan
sosial, dsb).
Hal-hal di atas menimbulkan lingkungan kerja yang
kurang menyenangkan bahkan keputusasaan bagi para pegawai, pejabat dan menteri.
Berdasarkan latar belakang itu, Pemerintah Selandia
Baru mengembangkan sistem manajemen keuangan yang terintegrasi dan
komprehensif, yaitu:
a)
menerjemahkan strategi pemerintah ke
dalam keputusan dan tindakan;
b)
menginformasikan pengambilan keputusan
oleh pemerintah;
c)
mendorong sektor pemerintah untuk
responsif dan efisien; dan
d)
secara konstan melaksanakan (reformasi).
Para
menteri dalam kabinet bertanggung jawab atas persyaratan kinerja secara
spesifik untuk setiap departemen yang dipimpinnya. Kepala eksekutif (Chief
Executive) departemen pada gilirannya harus bertanggung jawab untuk melaksanakan
pelayanan-pelayanan yang menjadi tugasnya dan untuk menyukseskan tugasnya itu,
kepala eksekutif memiliki wewenang untuk pengambilan keputusan manajerial.
Terdapat insentif-insentif untuk kinerja dan ada keharusan untuk memberikan
informasi kinerja sebagai bahan untuk memonitor dan menilai kinerja.
Bagian-bagian pokok dari peraturan keuangan pada
rezim baru yang diatur di dalam Public Finance Act 1989 adalah sebagai berikut:
a)
banyak kontrol administrasi;
b)
menentukan output dalam proses
apropriasi (alokasi anggaran);
c)
membuat kepala eksekutif bertanggung
jawab terhadap manajemen keuangan departemen/lembaga;
d)
menetapkan peraturan-peraturan tentang
pelaporan.
Di
dalam perjanjian kinerja tahunan kepala eksekutif, kinerja didefinisikan bahwa
di satu sisi, kepentingan pemerintah terhadap suatu departemen/lembaga adalah
sebagai pembeli dari pelayanan yang diberikan baik kepada pemerintah sendiri
maupun pihak ketiga, dan di sisi lain, pemerintah sebagai pemilik departemen/lembaga
tersebut. Sebagai pembeli, para menteri meminta pelayanan sesuai dengan
spesifikasi yang telah disepakati baik sisi kuantitas, kualitas, ketepatan
waktu dan lokasi pada harga yang terbaik.
Komitmen untuk Perubahan Dukungan dari para pemimpin di sektor publik,
baik politisi maupun birokrasi, adalah faktor kunci di dalam keberhasilan
implementasi rezim manajemen keuangan baru. Pada level stratejik,
komponen-komponen di dalam perubahan(reformasi) diatur sedemikian rupa sehingga
menghasilkan manfaat lebih awal baik untuk birokrasi maupun para menteri,
merefleksikan perbedaan hasil dikaitkan dengan perbedaan elemen perubahan, dan
mempertimbangkan isu-isu hubungan antara treasury dan lembaga-lembaga
pemerintah lainnya. Di awal proses, birokrat sudah menerima output atau manfaat
dari departemen/lembaga yang mereka jalankan tanpa harus mengacu pada
persyaratan prosedur detil yang ekstensif sebagaimana diatur dalam
aturan-aturan perbendaharaan (treasury) dan pedoman pelayanan publik.
Reformasi
sektor publik di Selandia Baru merupakan hasil dari beragam keputusan kompleks
yang dibuat terhadap aspek manajerial, ekonomi dan perspektif sosial di negara
tersebut. Reformasi tersbut mencakup penyediakan sarana dan prasarana yang
diperlukan, desentralisasi tugas dan wewenang, reformasi terhadap budaya
organisasi pemerintah, serta breaktrough yang dilakukan oleh para key
people selama proses reformasi dijalankan. Sistem akuntansi akrual menjadi
pilihan demi tercapainya sistem manajemen yang didasarkan pada tujuan
organisasi yang jelas, informasi kinerja yang lebih baik, serta pemberian
insentif yang sesuai dan kebebasan dalam memberikan feedback atas sistem
yang sedang berjalan.
2. Nepal
Nepal juga
dilanda krisis keuangan setelah berakhirnya Perang Dunia II, utamanya pada
rentang waktu 1950 hingga 1960an. Ketergantungan pemerintah dari bantuan dan
pinjaman luar negeri, baik itu dari negara-negara donor atau lembaga
internasional lainnya, menjadi sangat tinggi karena banyak sumber daya di dalam
negeri yang belum dikelola dengan layak. Di awal tahun 1960, Pemerintah Nepal
memperoleh pinjaman luar negerinya dari United States Agency for
International Development (USAID). Lembaga tersebut bersama Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) membawa misi perbaikan ekonomi ke negara-negara berkembang,
khususnya yang sedang mengalami krisis keuangan seperti Nepal.
Agenda yang
dibawa oleh USAID dan PBB adalah pengimplementasian program and performance
budgeting (PPB) di lingkungan pemerintah Nepal. Pelaksanaan PPB diharapkan
kemudian dapat menjadi alat yang digunakan oleh pemerintah dalam mengelola
pinjaman dan bantuan luar negerinya dengan lebih efektif dan efisien. Langkah
awal yang dilakukan adalah memperkenalkan dan melembagakan akuntansi berbasis
kas di lingkungan pemerintah pusat. Hal ini menjadi kunci dari reformasi yang
dilakukan selama periode 1960an di Nepal.
Namun
sepanjang pelaksanaannya, implementasi PPB tidak selalu berjalan dengan
sebagaimana mestinya. Kegagalan dalam menerapkan administrasi keuangan secara
terpusat dinilai menjadi faktor utama penghambat pelaksanaan PPB tersebut.
Upaya yang coba dilakukan adalah melakukan desentralisasi administrasi keuangan
di seluruh instansi pemerintahan di Nepal dengan membuat Bendahara Wilayah
untuk memfasilitasi transfer anggaran ke instansi-instansi pemerintah di daerah
terpencil serta proses pelaporannya ke kementerian yang terkait. Tetapi tetap
saja masih ditemukan kesulitan terutama untuk implementasi akuntansi berbasis
kas dimana masalah yang sering muncul adalah bagaimana perlakuan untuk provisi
terhadap pendapatan, layanan sosial, serta deposito yang dimiliki pemerintah.
Guna
mengatasi banyak kelemahan dalam pelaksanaan PPB, Kementerian Keuangan Nepal
memberikan arahan kepada seluruh instansi pemerintah untuk mengevaluasi dan
menganalisis biaya dan manfaat yang potensial dari setiap program dan proyek
pembangunan yang akan maupun telah dijalankan. Namun, arahan tersebut terkesan
menjadi kurang relevan karena sistem akuntansi yang digunakan oleh pemerintah tidak
mendukung untuk dilakukan evaluasi dan analisis full cost secara teliti
terhadap seluruh biaya yang dikeluarkan. Hal ini kemudian menimbulkan klaim
dari beberapa pihak bahwa akuntansi berbasis kas yang digunakan pemerintah
tidak bisa menyediakan informasi yang memadai guna mengidentifikasi seluruh
biaya dari proyek dan program pembangunan yang dijalankan, serta memberikan
ukuran kinerja dan hasil sebenarnya yang telah dicapai oleh pemerintah saat
itu. Di saat tersebut, muncullah pemikiran untuk beralih ke sistem akuntansi
berbasis akrual yang dibawa oleh Bank Dunia agar pelaksanaan PPB dapat berjalan
dengan lancar, yang kemudian saat itu pula menjadi awal dari era akrualisasi
Proses institusionalisasi akuntansi berbasis akrual diawali di tahun 1987 dimana
pemerintah mulai menyusun kode, klasifikasi, dan format untuk pelaksanaannya di
seluruh instansi pemerintah dan mulai diberlakukan di tahun 1989 pada beberapa
proyek pembangunan yang didanai oleh bantuan dan pinjaman internasional. Namun
dari catatan pemerintah, tidak ada bukti bahwa proyek yang dijalankan tersebut
telah selesai dan memberikan hasil, tetapi fakta yang ditemukan bahwa uji coba
sistem akuntansi akrual tersebut dihentikan beberapa bulan kemudian, yang
menjadi penanda dari ketidakberhasilan upaya akrualisasi yang coba dilakukan.
Beberapa
faktor yang kemudian dianggap sebagai penyebab kegagalan upaya akrualisasi
tersebut antara lain adalah kurangnya sumber daya manusia yang mampu menguasai
pelaksanaan sistem akuntansi berbasis akrual tersebut, serta kesiapan sarana
dan prasarana yang tidak memadai di seluruh instansi pemerintah saat itu.
Selain itu, kebanyakan akuntan pemerintah tidak dilibatkan dalam upaya yang
telah dilakukan karena sebagian besar tugas dan pekerjaan mereka dikerjaan oleh
konsultan dan staf dari organisasi internasional yang membawa proyek
akrualisasi akuntansi ke pemerintah Nepal.
Di awal
tahun 1990, pemerintah lalu mencanangkan upaya perbaikan terhadap sistem
akuntansi di negara tersebut. Dengan bantuan dari Bank Dunia dan Asian
Development Bank (ADB), pemerintah mengeluarkan tiga rekomendasi perbaikan:
penggunaan peralatan teknologi informasi, pengadopsian standar internasional,
dan perubahan menuju akuntansi berbasis akrual secara menyeluruh. Namun upaya
tersebut kembali mendapat sandungan karena ketidak mampuan seluruh pihak untuk
membuat suatu technical assistance yang memadai untuk dapat diterapkan
oleh seluruh instansi pemerintah. Hal ini menimbulkan tekanan publik yang besar
kepada pemerintah karena telah banyak upaya yang telah dilakukan dalam proses
perbaikan tata kelola keuangan pemerintah namun selalu menemui kegagalan dalam
uji coba dan pelaksanaannya. Kondisi tersebut tersebut tentunya telah menelan
biaya yang begitu besar dan telah menguras dana pemerintah yang sebagian besar
di danai dari pinjaman luar negeri. Selain itu, di saat yang sama terjadi
konflik dalam negeri (Konflik Maoist) yang juga turut memperparah kondisi
keuangan pemerintah karena konflik tersebut telah menghambat penarikan
pendapatan pemerintah dari beberapa daerah. Klimaks dari berbagai kejadian
tersebut adalah semakin membengkaknya jumlah pinjaman pemerintah dari luar
negeri, dari sebesar 56% (dari total penerimaan pemerintah) di awal tahun 1990,
hingga mendekati 70% di awal milenium baru.
Semakin
besarnya jumlah utang yang harus ditanggung pemerintah membuat pemerintah saat
itu menjadi semakin tidak independen terhadap lembaga-lembaga donor
internasional sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menolak segala agenda
yang coba diterapkan di dalam negeri. Perhatian utama dari setiap lembaga donor
adalah berhasilnya setiap proyek dan program yang dijalankan dari pinjaman yang
telah diberikan kepada negara. Hal ini seperti sebuah investasi bagi lembaga
donor tersebut karena tentunya mereka berhadap adanya return dari
pinjaman yang telah mereka berikan. Apabila ditarik ke ranah akuntansi, maka
hampir seluruh lembaga donor akan meminta kepada negara untuk mengikuti aturan
dan sistem mereka. Selain itu, mereka akan meminta laporan akuntansi untuk
proyek yang sedang dan telah dijalankan terhadap penggunaan dana pinjaman yang
mereka berikan. Informasi tersebut tentunya hanya akan berguna bagi mereka bila
aturan dan sistem yang berlaku di negara sesuai dengan yang mereka anut, yang
dalam hal ini adalah sistem akuntansi berbasis akrual. Namun kemudian, tekanan
dari lembaga-lembaga internasional tersebut tidak dibarengi dengan langkah
nyata dalam membantu pemerintah untuk turut menyiapkan sarana dan prasarana
yang perlu dalam implementasi akuntansi berbasis akrual. Kondisi tersebut
bagaikan membiarkan pemerintah untuk berjalan sendiri di tengah tekanan yang
harus ditanggung.
Tekanan
besar yang diterima pemerintah, tidak hanya dari lembaga-lembaga donor
internasional tetapi juga dari khalayak publik di dalam negeri akibat kegagalan
dalam penerapan akuntansi berbasis akrual di tahun-tahun sebelumnya, yang
kemudian mendorong pemerintah untuk segara melakukan perubahan sistem akuntansi
di tahun-tahun mendatang. Melalui kerja sama dengan para akuntan publik di negara
tersebut, pemerintah berharap bahwa penerapan akuntansi berbasis akrual dapat
segera terlaksana dengan baik. Kebanyakan akuntan publik (yang bekerja untuk
perusahaan bisnis) berpendapat bahwa akuntansi berbasis akrual akan menjadi
alat yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas informasi akuntansi
pemerintah. Selain itu, adopsi terhadap sistem akuntansi berbasis akrual telah
menjadi tren global di banyak negara saat itu.
Pemerintah
lalu mulai memasuki masa transisi selama lima tahun dalam proses implementasi
akuntansi berbasis akrual di institusi pemerintah di seluruh negeri. Namun
upaya tersebut kemudian lebih banyak menuai kritik dari sebagian besar pejabat
dan akuntan pemerintah. Mereka berpendapat bahwa upaya yang dilakukan terlalu
tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan kesiapan seluruh aspek penunjang yang ada
di negara tersebut. Kelemahan utama yang ditemukan adalah kurangnya kapasitas
akuntan pemerintah untuk dapat mengerti dan mengimplementasikan sistem tersebut
dalam waktu yang singkat. Banyak akuntan pemerintah berargumen bahwa perlu
waktu lebih dari 20 tahun untuk dapat mengimplementasikan sistem tersebut
dengan sukses. Selain itu, tidaklah mudah untuk memberikan pengetahuan mengenai
sistem akuntansi berbasis akrual kepada para akuntan junior yang tersebar di
sangat banyak instansi pemerintah di negara tersebut dan sebagian besar berada
di lokasi yang terpencil yang bahkan, dari awal, telah sulit mengaplikasikan
akuntansi berbasis kas dan kemudian diharuskan untuk beralih ke sistem baru
yang lebih rumit dari sebelumnya.
Semakin
banyaknya bukti yang ditemukan terhadap sulitnya penerapan akuntansi berbasis
akrual di sektor pemerintah menimbulkan skeptisme dari lembaga-lembaga donor
internasional untuk terus mendorong pemerintah menerapkan sistem tersebut. Itu
menjadi kali pertama dimana pemerintah Nepal menyaksikan sikap dari
lembaga-lembaga donor tersebut dimana sebelumnya merekalah yang sangat gigih
menyuarakan kepada pemerintah terkait penerapan akuntansi berbasis akrual.
Pemerintah juga mulai menyadari kesalahan terhadap ketergantungan yang sangat
besar pada kemampuan konsultan dan staf dari organisasi internasional dalam
penerapan sistem tersebut, dan mengucilkan peran akuntan pemerintah selama
proses perubahan dari akuntansi berbasis kas ke akrual. negara sesuai dengan
yang mereka anut, yang dalam hal ini adalah sistem akuntansi berbasis akrual.
Namun kemudian, tekanan dari lembaga-lembaga internasional tersebut tidak
dibarengi dengan langkah nyata dalam membantu pemerintah untuk turut menyiapkan
sarana dan prasarana yang perlu dalam implementasi akuntansi berbasis akrual.
Kondisi
tersebut bagaikan membiarkan pemerintah untuk berjalan sendiri di tengah tekanan
yang harus ditanggung. Tekanan besar
yang diterima pemerintah, tidak hanya dari lembaga-lembaga donor internasional
tetapi juga dari khalayak publik di dalam negeri akibat kegagalan dalam
penerapan akuntansi berbasis akrual di tahun-tahun sebelumnya, yang kemudian
mendorong pemerintah untuk segara melakukan perubahan sistem akuntansi di tahun-tahun
mendatang. Melalui kerja sama dengan para akuntan publik di negara tersebut,
pemerintah berharap bahwa penerapan akuntansi berbasis akrual dapat segera
terlaksana dengan baik. Kebanyakan akuntan publik (yang bekerja untuk
perusahaan bisnis) berpendapat bahwa akuntansi berbasis akrual akan menjadi
alat yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas informasi akuntansi
pemerintah. Selain itu, adopsi terhadap sistem akuntansi berbasis akrual telah
menjadi tren global di banyak negara saat itu.
Pemerintah
lalu mulai memasuki masa transisi selama lima tahun dalam proses implementasi
akuntansi berbasis akrual di institusi pemerintah di seluruh negeri. Namun
upaya tersebut kemudian lebih banyak menuai kritik dari sebagian besar pejabat
dan akuntan pemerintah. Mereka berpendapat bahwa upaya yang dilakukan terlalu
tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan kesiapan seluruh aspek penunjang yang ada
di negara tersebut. Kelemahan utama yang ditemukan adalah kurangnya kapasitas
akuntan pemerintah untuk dapat mengerti dan mengimplementasikan sistem tersebut
dalam waktu yang singkat. Banyak akuntan pemerintah berargumen bahwa perlu
waktu lebih dari 20 tahun untuk dapat mengimplementasikan sistem tersebut
dengan sukses. Selain itu, tidaklah mudah untuk memberikan pengetahuan mengenai
sistem akuntansi berbasis akrual kepada para akuntan junior yang tersebar di
sangat banyak instansi pemerintah di negara tersebut dan sebagian besar berada
di lokasi yang terpencil yang bahkan, dari awal, telah sulit mengaplikasikan
akuntansi berbasis kas dan kemudian diharuskan untuk beralih ke sistem baru
yang lebih rumit dari sebelumnya.
Semakin
banyaknya bukti yang ditemukan terhadap sulitnya penerapan akuntansi berbasis
akrual di sektor pemerintah menimbulkan skeptisme dari lembaga-lembaga donor
internasional untuk terus mendorong pemerintah menerapkan sistem tersebut. Itu
menjadi kali pertama dimana pemerintah Nepal menyaksikan sikap dari
lembaga-lembaga donor tersebut dimana sebelumnya merekalah yang sangat gigih
menyuarakan kepada pemerintah terkait penerapan akuntansi berbasis akrual.
Pemerintah juga mulai menyadari kesalahan terhadap ketergantungan yang sangat
besar pada kemampuan konsultan dan staf dari organisasi internasional dalam
penerapan sistem tersebut, dan mengucilkan peran akuntan pemerintah selama
proses perubahan dari akuntansi berbasis kas ke akrual.
3. Hongkong
Hong Kong menjadi wilayah otonom (Hong Kong
sejak 1 Juli 1997 telah diserahkan kembali ke Cina oleh pemerintah Inggris dan
oleh pemerintah Cina dijadikan sebagai daerah otonom) pertama bekas koloni
jajahan Inggris di Asia yang mengadopsi akuntansi akrual di sektor publiknya.
Pemerintah negara ini merasa bahwa Hong Kong harus mengikuti praktik terbaik
dalam tata kelola keuangannya di sektor publik berdasarkan prinsip akuntansi
yang dianut banyak negara di dunia saat ini. Persiapan penerapan akuntansi
akrual di Hong Kong telah dimulai sejak tahun 2003 dan 2004. Dengan
diberlakukannya sistem yang baru ini, pemerintah berharap bahwa setiap pejabat
negara tidak akan dapat menghindar dari tanggung jawab untuk membuat pelaporan
keuangan dan tidak lagi dapat mengemukakan alasan bahwa mereka tidak memiliki
pengendalian atas biaya yang ada di departemen mereka. Tekanan penerapan akrual
itu sendiri telah mulai digaungkan sejak tahun 1999 oleh para akuntan
profesional. Mereka berpendapat bahwa dengan penerapan sistem akuntansi akrual
di sektor publik, khususnya pemerintah, selain dapat menyediakan informasi yang
lebih komprehensif, para akuntan juga dapat juga dengan mudah berpindah atau
bertukar pengalaman dari sektor bisnis ke sektor publik. Dengan adanya sistem
yang sama maka tentunya kedua sektor tersebut dapat saling melengkapi satu
dengan yang lainnya.
Masalah
yang dihadapi kemudian adalah sistem akuntansi akrual akan memberikan dampak
yang sangat besar terhadap sistem, pelaksana, dan budaya yang telah berjalan
sejak lama. Penerapan sistem yang baru tersebut tentunya akan membutuhkan biaya
yang secara signifikan cukup besar, baik untuk menyiapkan hardware maupun
software yang akan digunakan. Untuk pelaksana, tentunya akan tidak mudah dan
cepat dalam menyiapkan para akuntan pemerintah agar dapat memahami sistem
akrual dengan baik. Sedangkan dampak terhadap budaya, tentunya akan berpengaruh
signifikan terhadap budaya di hampir seluruh departemen pemerintah karena
selama ini departemen-departemen tersebut bekerja layaknya pusat biaya.
Kekhawatiran
terbesar dari para pejabat pemerintah dari diberlakukannya sistem akrual
tersebut adalah sistem tersebut akan mengungkap seluruh kewajiban terselubung (hidden
liabilities) yang dimiliki oleh pemerintah. Namun para akuntan di organisasi
profesional akuntan di Hong Kong memberikan keyakinan bahwa kekhawatiran
tersebut tidaklah perlu karena pemerintah Hong Kong juga memiliki aset
terselubung (hidden assets) yang nilainya melebihi nilai kewajiban
tersebut. Beberapa aset yang nilainya sangat signifikan antara lain bandara,
jaringan kereta api massal, dan saham atau properti yang dimiliki oleh
pemerintah. Penerapan akuntansi akrual secara penuh akan membawa pada penilaian
kembali atas aset yang ada ataupun belum di masukkan ke dalam dalam neraca
pemerintah. Hal tersebut tentunya akan berujung pada meningkatnya akuntabilitas
sektor publik dan tersedianya informasi yang lebih kaya atas sumber daya yang
dimiliki oleh pemerintah.
4. Australia
Basis akrual pada mulanya adalah basis yang dikenal
pada sektor privat saja. Pada basis ini, transaksi yang terjadi diakui pada
saat terjadinya (subtance over form )yang
kemudian dicatat dan disajikan dalam laporan keuangan pada periode
bersangkutan. Hal ini berbeda pada basis kas yang mengakui transaksi pada saat
diterima dan dikeluarkan pada periode bersangkutan. Dampak dalam basis akrual
iniakan menghasilkan informasi yang lebih pada laporan keuangan apabila
dibandingkan dengan basis kas, misalnya piutang, utang, depresiasi, yang
kemudian lebih berguna dalam pengambilan keputusan.
Tren penerapan basis akrual untuk akuntansi (
pelaporan keuangan ) dan penganggaran berkembang diawali oleh negara-negara
anggota OECD, salah satunya adalah Australia. Banyak hal yang melatarbelakangi
perkembangan penerapan basis akrual ini. Penggunaan basis akrual yang sedang
menjadi tren di negara-negara OECD dan negara-negara berkembang tidak terlepas
dari manfaat yang diperoleh negara yang menerapkannya. Negara-negara OECD,
termasuk Australia tentunya, menilai bahwa penggunaan basis akrual akan dapat
meningkatkan kuantitas dan kualitas informasi laporan keuangan yang kemudian
berguna dalam pengambilan keputusan dan akuntabilitas publik. Dengan semakin
berkualitas informasi yang didapat, maka pemerintah akan dapat mengambil
keputusan yang efisien dan efektif dalam pengelolaan keuangan negara.
Australia sudah
sejak belasan tahun lalu menerapkan basis akuntansi akrual dinegaranya. Akuntansi akrual untuk individual
departemen/lembaga diimplementasikan sejak tahun 1995. Laporan konsolidasian
akrual diterapkan sejak tahun 1997, dan penganggaran akrual dilaksanakan sejak
tahun 2000.Pengaruh Inggris terlihat pada struktur akuntansi Australia.
Australia merupakan negara persemakmuran dan tumbuh sebagai hasil dari migrasi
warga Inggris pada tahun 1800-an. Oleh karena itu, praktik akuntansi Australia
lebih fokus pada informasi yang diperlukan oleh investor dibandingkan dengan
keperluan pajak negara tersebut. Pada tahun 1991, The Australian Securities &
Invesment Commission dibentuk untuk membantu peraturan dan
menyelenggarakan hukum perusahaan untuk melindungi konsumen, investor dan
kreditor. Standar akuntansi dibuat oleh Australian Accounting Standards Board (AASB). Aslinya, ASSB bekerja sama dengan Public Sector Accounting Standards Board untuk membuat standar Australia. Urgent Issues Group (UIG) didirikan pada tahun 1994 untuk membantu
menunjuk isu mendesak dalam bidang akuntansi kebanyakan seperti Emergency Issues Task Force (EITF) di Amerika Serikat.
Pada tahun 1999, pengaturan standar Australia
mereorganisasi ulang melalui The
Corporate Law Economic Reform Program Act. Reorganisasi ini membuat Financial Reporting Council (FRC) mengatur tindakan AASB. FRC dapat memberikan AASB pengarahan tapi tidak akan bisa mempengaruhi isi dari
standar akuntansi. AASBsekarang
mempunyai tanggung jawab untuk membuat standar baik sektor publik maupun sektor
pribadi dan bebas untuk mencari tim dan staf. Di samping itu, UIG terus
memberikan panduan mengenai isu akuntansi yang mendesak. Australia mengadopsi
IFRS pada tahun 2005.
Seperti halnya dengan Selandia Baru, adopsi akuntansi
akrual di Australia untuk sektor publik terjadi selama periode reformasi
ekonomi luas, meskipun reformasi Australia barangkali lebih sederhana
dibandingkan dengan Selandia Baru. Meskipun pertumbuhan
ekonomi Australia lebih konsisten dari Selandia Baru, tekanan muncul pada awal
1990-an untuk meningkatkan efisiensi pemerintah dan meningkatkan kinerja.
Reformasi komprehensif pada akhirnya dilakukan dengan cara melaksanakan dua inisiatif
yaitu Financial Management
Improvement Program dan Program Management and Budgeting.
Pelajaran yang Dapat Dipetik
Penerapan
akuntansi pemerintahan berbasis akrual yang telah digunakan oleh beberapa
negara memberikan dampak yang positif, dimana beberapa peneliti yang memberikan
bukti bahwa reformasi akuntansi pemerintahan dari yang sebelumnya basis kas dan
diubah menjadi basis akrual memberikan banyak manfaat terutama dalam mewujudkan
good governance.
Dari sisi
pemerintah penerapan akuntansi berbasis akrual diharapkan mampu meningkatkan
kualitas informasi pelaporan keuangan pemerintah serta menghasilkan informasi
yang lebih akuntabel dan transparan. Penerapan akuntansi berbasis akrual mampu
mendukung terlaksananya perhitungan biaya publik dengan lebih wajar, misalnya
saja dalam menentukan nilai yang dihasilkan mencakup seluruh beban yang
terjadi, tidak hanya jumlah yang telah dibayarkan. Dengan memasukkan seluruh
beban, baik yang sudah dibayar maupun yang belum dibayar, akuntansi berbasis
akrual dapat menyediakan pengukuran yang lebih baik, pengakuan yang tepat
waktu, dan pengungkapan kewajiban di masa mendatang. Sedangkan bagi masyarakat
dengan semakin akuntabel dan transparan laporan keuangan pemerintah, maka
masyarakat dapat menilai kinerja pemerintah dalam melaksanakan pengelolaan
keuangan negara, sehingga masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat dapat
mengawasi kinerja pemerintah. Penutup, mari kita dukung pemerintah untuk
melaksanakan standar akuntansi pemerintahan berbasis akrual, guna mewujudkan
terciptanya good governance di Indonesia.
BAB
III
KESIMPULAN
Implementasi sistem berbasis akrual dikaitkan dengan
reformasi manajemen keuangan pemerintah termasuk manajemen kinerja yang
membutuhkan informasi mengenai biaya. Reformasi manajemen keuangan semakin
menuntut pemerintah untuk lebih transparan dan akuntabel dengan mengungkapkan
semua informasi yang relevan dengan pengambilan keputusan dan dalam rangka
mempertanggungjawabkan mandat yang diberikan oleh publik. Akuntansi berbasis
akrual dapat menyediakan pengukuran yang lebih baik, pengakuan yang tepat waktu
dan pengungkapan kewajiban di masa mendatang. Dalam rangka pengukuran kinerja,
informasi berbasis akrual dapat menyediakan informasi mengenai efisiensi dan
efektivitas organisasi dan mengurangi kesempatan atas kecurangan. Oleh karena
itu, akuntansi berbasis akrual merupakan salah satu sarana pendukung yang
diperlukan dalam rangka transparansi dan akuntabilitas sektor publik.
Namun, penerapan akuntansi berbasis akrual oleh negara-negara
berkembang merupakan hal yang kontroversial. Negara berkembang masih harus
menghadapi kendala dalam sumber daya manusia, keterbatasan teknologi, korupsi
dan kepentingan-kepentingan politik. Selain itu, akuntansi berbasis akrual juga
lebih sulit dan mahal untuk diterapkan dan informasinya lebih sulit untuk
dimengerti bagi orang di luar profesi akuntansi.
Oleh karena itu, penelitian ADB menyimpulkan bahwa penerapan
akuntansi berbasis akrual di negara-negara berkembang harus direncanakan secara
realistis dan praktis sesuai dengan kemampuan sumber daya dan kapasitas. Banyak
penelitian menyimpulkan bahwa factor-faktor yang dapat mendukung keberhasilan
penerapan akuntansi berbasis akrual adalah strategi implementasi yang
direncanakan dengan baik, komitmen, tujuan yang dikomunikasikan secara jelas,
sumber daya manusia yang andal, dan sistem informasi yang sesuai dengan
kebutuhan. Salah satu hal yang penting untuk dianalisis adalah bagaimana
strategi penerapan akuntansi berbasis akrual dalam pengganggaran yang berbasis
kas.
DAFTAR PUSTAKA
http://lapidapidong.blogspot.com/2012/10/penerapan-akuntansi-akrual-di.html (diakses tanggal 25 Oktober 2013)
http://www.academia.edu/2399742/Studi_atas_Penerapan_Akuntansi_Akrual_di_Nepal_Hong_Kong_dan_Selandia_Baru_-_Rhumy_Ghulam (diakses tanggal 25 Oktober 2013)
http://sutaryofe.staff.uns.ac.id/files/2011/10/Akuntansi-berbasis-akrual.pdf (diakses tanggal 25 Oktober 2013)
Komentar
Posting Komentar